Jumat, 25 April 2014

Ayat Ekonomi Hak milik


AYAT EKONOMI
TENTANG
HAK MILIK

"dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros". (QS. Al israa;26)

A. Tafsir Ayat
            “Dan berikanlah kepada keluarga yang karip akan haknya”  yang maknanya disamping berbakti kepada orang tua itu, hendaknya pula berikan kepada kaum keluarga yang karip itu akan haknya. Karena mereka berhak berhak buat ditolong. Mereka berhak dibantu. Kaum kerabat, atau keluarga terdekat itu adalah bertali darah dengan kamu. Kamu hidup di tengah-tengah keluarga. Saudara-saudaramu sendiri, yang seibu sebapak, atau yang seibu saja atau yang sebapak saja. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ayahmu yang disebuat ‘ammi dan ammati’. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ibu, yang disebut khal dan khalat. Nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah dan lain-lain. Anak-anak dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, dan lain-lain. Kadang-kadang tidaklah sama pintu rezeki yang terbuka, sehingga ada yang berlebih-lebihan, ada yang berkecukupan dan ada yang berkurangan. Maka berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu, sehingga pertalian darah yang telah memang ada dikuatkan lagi dengan pertalian cemas[1].
Ali bin al husain berkenan dengan firman Allah SWT. “ dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya” berkata mereka adalah kerabat nabi SAW. ini adalah perintah nabi SAW agar memberikan hak-hak mereka dari baitul maal maksudnya, dari saham (bagian) para kerabat dari harta rampasan perang, juga bisa menjadi pesan kepada para pemimpin atau orang-oranmg yang mewakili mereka. Ditambahkan didalam ayat ini apa yang yang telah ditentukan berupa silahturahmi mempersempit kesenjangan, menolong dengan harta ketika sangat dibutuhkan dan bantuan dengan segala bentuknya.[2]
            “Dan orang-orang miskin dan anak perjalanan” orang yang serba kekurangan. Yang hidup tidak berkecukupan. Sewajarnya mereka dibantu, sehingga tertimbunlah jurang yang dalam yang memisahkan di antara si kaya dan si miskin. “anak perjalalan”, yang di sebut ibnus-sabil pun berhak mendapat bantuan kamu. Ibnus-sabil boleh diartikan orang ang perjalan meninggalkan kampung halaman dan rumah tanggannya untuk maksud yang baik, misalnya menuntut ilmu atau mencari keluarganya ang telah lama hilang, lalu keputusan belanja di tengah jalan. Dan ibnus-sabil boleh juga diartikan orang melarat (fakir miskin) yang sudah sangat sengsara hidupnya, sehingga rumah tempat diam pun tak ada lagi, tak ada harta tak ada sawah ladang habis terjual, lalu membanjir ke kota-kota besar disangka akan mendapat pekerjaan, tidurlah mereka dikaki lima milik orang. Besar kemungkinan bahwa orang-orang gelandangan pun dapat dimasukan dalam lingkungan ibnus-sabil. Tetapi bagaimana sepastinya, Wallahu a’lam.[3]
            “Dan janganlah kamu terlalu boros” tabdzir atau pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan haq, kerena itu jika seseorang menafkankan atau membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka dia bukanlah seorang pemboros. Sayyidina Abu Bakar ra. Menyerahkan semua hartanya kepada nabi muhammad saw. Dalam rangka berjihat dijalan Allah SWT. Sayyidina utsman ra, membelanjakan separuh hartanya. Nafkah mereka diterima nabi muhammad saw. Dan beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros, sebaliknya membasuh wajah lebih dari tiga kali dalam berwudhu’, dinilai sebagai pembosrosan – walau ketika itu yang bersangkutan berwudhu’ dari sungai yang mengalir. Jka demikian, pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat bukannya dengan kuantitas.[4]
Imam syafi’i mengatakan bahwa mubazzir itu adalah membelanjakan harta tidak pada jalannya.
Imam malik berkata, bahwa mubazzir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas, tetapi mengeluarkan dengan jalan tak pantas.
Mujahit berkata: “walaupun seluruhnya hartanya dikeluarkan untuk jalan yang benar, tidaklah dia mubazzir. Tetapi walaupun hanya segantung padi dikeluarkan, padahal tidak pada jalan yang benar itu sudah mubazzir.
Berkata Qatadah: “Tabdzir ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada Allah, pada jalan yang tidak benar dan menyesatkan.”
Waktu saya kanak-kanak pernah saya membeli kacang goreng lalu saya makan. Maka terjatuhlah ke tanah dua buah kacang goreng  itu. Sedang ayah saya lalu di hadapanku. Lalu beliau berkata “pilih yang jatuh itu jangan mubazzir”
Sekarang setelah dewasa saya berfikir “Mengapa tidak akan saya pilih? Padahal kacang itu masih beelum terkupas dari kulitnya artinya belum kotor.” Maka menertilah saya teguran ayah saya itu, membiarkan kacang itu terbuang saja, padahal dia patut di makan adalah mubazzir.
Dan kami di waktu itu di marahi kalau bersisa makan. Sebab itu kalau kami minta nasi atau mengambil sendiri, kira-kiralah jangan sampai tersisa. Karena bersisa adalah mubazzir.
Dan beliau memberi ingat di rumah kami supaya menanak nasi secukupnya bagi orang yang akan makan. Jangan sampai berlebih yang akan menyebabkan basi dan terbuang. Kalau nasi itu berlebih tapi tidak basi dan kita sudah merasa kenyang, bolehlah diberikan kepada orang miskin atau ibnu-sabil (biasanya penuntut-penuntut ilmu, santri atau “urang siak” yang datang dari jauh-jauh mengaji ketempat kami). Tetapi kalau nasi sudah basi, niscaya terpaksa dibuangkan. Timbul nasi basi karena di tanak terlalu banyak. Itu ditegur oleh ayah dan dimarahi,sebab mubazzir![5]


B. Korelasi Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer.
.Menurut ajaran-ajaran islam, setiap muslim ”wajib mempergunakan sebagian waktunya untuk mengingat Allah, dia harus menyumbangkan sebagian tenaganya untuk menyiarkan kebenaran dan amal saleh,” dan harus menfaatkan: waktu dan usahanya untuk meningkatkan kehidupan spiritual, moral dan ekonomi masyarakat.” Hal ini dapat dilakukan hanya dengan mengiklaskan sebagian tenaga manusia untuk mendapatkan makanan dan barang-barang konsumsi lainya, karena alternatif lainnya, yakni, sikap masa bodoh, negativisme, dan kelaparan, bertentangan baik dengan sifat manusia maupun dengan ajaran-ajaran islam. Cakrawala waktu yang lebih luas ini mempunyai makna bahwa setiap mu’min (orang yang beriman) seharusnya tidak membatasi dirinya sendiri untuk melaksanakan hal-hal yang manfaat-manfaatnya dia peroleh dalam kehidupan (di dunia) ini. Dia diarahkan sedemikian rupa sehingga dia akan melakukan apa yang baik atau berguna bagi dirinya atau mengekspresikan dalam istilah-istilah islami, karena allah akan memberikan imbalan pahala untuk itu.[6]
            Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer. Pemborosan berarti menggunakan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan melampui tingkat moderat (wajar) di anggap israf dan tidak disenangi.[7]
            Di dalam hidup berkeluarga perencanaan maupun konsumsi dalam menggunakan harta sangatlah penting,dalam hal ini di harapkan bahwa pasangan suami istri bisa menggunakan hartanya dengan baik dan mengatur jalannya pengeluaran uang sesuai yang telah di tentukan oleh islam. Seperti yang terdapat dalam surat di atas sebaiknya berbagilah dengan orang yang membutuhkan dalam hal ekonomi ataupun yang lainnya,baik dalam keluarga,tetangga,maupun masyarat yang di luar sana.
            Untuk memulai pengaturan keuangan rumah tangga, suami istri perlu menentukan beberapa hal penting seperti skala prioritas sekaligus tujuan dan penggunaan uang dalam rencana keuangan rumah tangga. Daftar pengeluaran setiap bulan juga perlu dilihat. Keputusan penggunaan uang perlu melibatkan suami dan istri apabila keputusan tersebut berkaitan dengan keputusan besar yang melibatkan jumlah uang yang besar pula seperti membeli rumah, mobil, danbahkan memilih pekerjaan. Semuanya perlu melibatkan keputusan bersama antara suami dan istri. Karena keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri, pertanggungjawaban keuangan juga perlu dilakukan oleh kedua belah pihak. Dengan perencanaan semacam ini, tidak ada lagi rumah tangga yang harus menghadapi masalah besar hanya karena kondisi keuangan yang tidak jelas. Pasangan suami istri akan lebih memusatkan perhatian terhadap hal-hal yang membahagiakan.

C. Kesimpulan
            Menggunakan harta secara efisien dan efektif akan lebih bermanfaat daripada menggunakan harta atau uang untuk membeli sesuatu yang sifatnya boros,di lain pihak harta tersebut cepat habis hal itu juga tidak di senangi oleh Allah SWT.
                Konsumsilah secara bijak dan lebih hemat lagi dalam mengeluarkan uang,dan gunakanlah uang tersebut untuk mendapat ridho dari Allah SWT. Hidup ini akan lebih indah dan kelak di akhirat akan mendapatkan pertolongan





DAFTAR PUSTAKA

Hamka,Tafsir Al-Azhar Juz xv,Jakarta:Pustaka Panjimas,2003.
Al-Qurthubi,Syaikh Imam,Tafsir Al-Qurthubi,Jakarta:Pustaka Azzam,2008.
Shihab,M.Quraish,Tafsir Al-Mishbah,Jakarta:Lentera Hati,2002.
Kahf,Moher,Ekonomi Islam,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1995


[1] Hamka,Tafsir Al-Azhar Juz xv (Jakarta:Pustaka Panjimas,2003),hlm 47-48
[2] Syaikh imam Al-Qurthubi,Tafsir Al-Qurthubi(Jakarta:Pustaka Azzam,2008),hlm
[3] Op.cit,Hamka,hlm 48
[4] M.Quraish Shuhab,Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:Lentera Hati,2002),hlm 449-450
[5] Op.cit,Hamka,hlm 48-49
[6] Monzer kahf,Ekonomi Islam(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1995),hlm 21
[7] Ibid,Monzer kahf,hlm 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar