AYAT
EKONOMI
TENTANG
HAK
MILIK
"dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros". (QS. Al israa;26)
A. Tafsir Ayat
“Dan
berikanlah kepada keluarga yang karip akan haknya” yang maknanya disamping berbakti kepada orang
tua itu, hendaknya pula berikan kepada kaum keluarga yang karip itu akan
haknya. Karena mereka berhak berhak buat ditolong. Mereka berhak dibantu. Kaum
kerabat, atau keluarga terdekat itu adalah bertali darah dengan kamu. Kamu
hidup di tengah-tengah keluarga. Saudara-saudaramu sendiri, yang seibu sebapak,
atau yang seibu saja atau yang sebapak saja. Saudara-saudara laki-laki dan
perempuan dari ayahmu yang disebuat ‘ammi dan ammati’. Saudara-saudara
laki-laki dan perempuan dari ibu, yang disebut khal dan khalat. Nenek dari pihak
ibu, nenek dari pihak ayah dan lain-lain. Anak-anak dari saudara laki-laki,
anak-anak dari saudara perempuan, dan lain-lain. Kadang-kadang tidaklah sama
pintu rezeki yang terbuka, sehingga ada yang berlebih-lebihan, ada yang
berkecukupan dan ada yang berkurangan. Maka berhaklah keluarga itu mendapat
bantuan dari kamu yang mampu, sehingga pertalian darah yang telah memang ada
dikuatkan lagi dengan pertalian cemas[1].
Ali bin al husain berkenan dengan firman Allah SWT. “ dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya” berkata mereka
adalah kerabat nabi SAW. ini adalah perintah nabi SAW agar memberikan hak-hak
mereka dari baitul maal maksudnya, dari saham (bagian) para kerabat dari harta
rampasan perang, juga bisa menjadi pesan kepada para pemimpin atau orang-oranmg
yang mewakili mereka. Ditambahkan didalam ayat ini apa yang yang telah
ditentukan berupa silahturahmi mempersempit kesenjangan, menolong dengan harta
ketika sangat dibutuhkan dan bantuan dengan segala bentuknya.[2]
“Dan
orang-orang miskin dan anak perjalanan” orang yang serba kekurangan. Yang hidup
tidak berkecukupan. Sewajarnya mereka dibantu, sehingga tertimbunlah jurang
yang dalam yang memisahkan di antara si kaya dan si miskin. “anak perjalalan”,
yang di sebut ibnus-sabil pun berhak mendapat bantuan kamu. Ibnus-sabil boleh
diartikan orang ang perjalan meninggalkan kampung halaman dan rumah tanggannya
untuk maksud yang baik, misalnya menuntut ilmu atau mencari keluarganya ang
telah lama hilang, lalu keputusan belanja di tengah jalan. Dan ibnus-sabil
boleh juga diartikan orang melarat (fakir miskin) yang sudah sangat sengsara
hidupnya, sehingga rumah tempat diam pun tak ada lagi, tak ada harta tak ada
sawah ladang habis terjual, lalu membanjir ke kota-kota besar disangka akan
mendapat pekerjaan, tidurlah mereka dikaki lima milik orang. Besar kemungkinan
bahwa orang-orang gelandangan pun dapat dimasukan dalam lingkungan ibnus-sabil.
Tetapi bagaimana sepastinya, Wallahu a’lam.[3]
“Dan
janganlah kamu terlalu boros” tabdzir atau pemborosan dipahami oleh ulama dalam
arti pengeluaran yang bukan haq, kerena itu jika seseorang menafkankan atau
membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka dia bukanlah seorang
pemboros. Sayyidina Abu Bakar ra. Menyerahkan semua hartanya kepada nabi
muhammad saw. Dalam rangka berjihat dijalan Allah SWT. Sayyidina utsman ra,
membelanjakan separuh hartanya. Nafkah mereka diterima nabi muhammad saw. Dan
beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros, sebaliknya membasuh wajah
lebih dari tiga kali dalam berwudhu’, dinilai sebagai pembosrosan – walau
ketika itu yang bersangkutan berwudhu’ dari sungai yang mengalir. Jka demikian,
pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat bukannya dengan kuantitas.[4]
Imam syafi’i mengatakan bahwa mubazzir itu adalah
membelanjakan harta tidak pada jalannya.
Imam malik berkata, bahwa mubazzir ialah mengambil harta
dari jalannya yang pantas, tetapi mengeluarkan dengan jalan tak pantas.
Mujahit berkata: “walaupun seluruhnya hartanya dikeluarkan
untuk jalan yang benar, tidaklah dia mubazzir. Tetapi walaupun hanya segantung
padi dikeluarkan, padahal tidak pada jalan yang benar itu sudah mubazzir.
Berkata Qatadah: “Tabdzir ialah menafkahkan harta pada
jalan maksiat kepada Allah, pada jalan yang tidak benar dan menyesatkan.”
Waktu saya kanak-kanak pernah saya membeli kacang goreng
lalu saya makan. Maka terjatuhlah ke tanah dua buah kacang goreng itu. Sedang ayah saya lalu di hadapanku. Lalu beliau
berkata “pilih yang jatuh itu jangan mubazzir”
Sekarang setelah dewasa saya berfikir “Mengapa tidak akan
saya pilih? Padahal kacang itu masih beelum terkupas dari kulitnya artinya
belum kotor.” Maka menertilah saya teguran ayah saya itu, membiarkan kacang itu
terbuang saja, padahal dia patut di makan adalah mubazzir.
Dan kami di waktu itu di marahi kalau bersisa makan.
Sebab itu kalau kami minta nasi atau mengambil sendiri, kira-kiralah jangan
sampai tersisa. Karena bersisa adalah mubazzir.
Dan beliau memberi ingat di rumah kami supaya menanak
nasi secukupnya bagi orang yang akan makan. Jangan sampai berlebih yang akan
menyebabkan basi dan terbuang. Kalau nasi itu berlebih tapi tidak basi dan kita
sudah merasa kenyang, bolehlah diberikan kepada orang miskin atau ibnu-sabil
(biasanya penuntut-penuntut ilmu, santri atau “urang siak” yang datang dari
jauh-jauh mengaji ketempat kami). Tetapi kalau nasi sudah basi, niscaya
terpaksa dibuangkan. Timbul nasi basi karena di tanak terlalu banyak. Itu ditegur
oleh ayah dan dimarahi,sebab mubazzir![5]
B. Korelasi Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer.
.Menurut ajaran-ajaran islam, setiap muslim ”wajib
mempergunakan sebagian waktunya untuk mengingat Allah, dia harus menyumbangkan
sebagian tenaganya untuk menyiarkan kebenaran dan amal saleh,” dan harus
menfaatkan: waktu dan usahanya untuk meningkatkan kehidupan spiritual, moral
dan ekonomi masyarakat.” Hal ini dapat dilakukan hanya dengan mengiklaskan
sebagian tenaga manusia untuk mendapatkan makanan dan barang-barang konsumsi
lainya, karena alternatif lainnya, yakni, sikap masa bodoh, negativisme, dan
kelaparan, bertentangan baik dengan sifat manusia maupun dengan ajaran-ajaran
islam. Cakrawala waktu yang lebih luas ini mempunyai makna bahwa setiap mu’min
(orang yang beriman) seharusnya tidak membatasi dirinya sendiri untuk melaksanakan
hal-hal yang manfaat-manfaatnya dia peroleh dalam kehidupan (di dunia) ini. Dia
diarahkan sedemikian rupa sehingga dia akan melakukan apa yang baik atau
berguna bagi dirinya atau mengekspresikan dalam istilah-istilah islami, karena
allah akan memberikan imbalan pahala untuk itu.[6]
Konsumsi
berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak
mengenal tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti
mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan yang
terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang
tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang
hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer.
Pemborosan berarti menggunakan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang
melanggar hukum dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah.
Ajaran-ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara
wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan
pemborosan. Konsumsi diatas dan melampui tingkat moderat (wajar) di anggap
israf dan tidak disenangi.[7]
Di dalam hidup berkeluarga
perencanaan maupun konsumsi dalam menggunakan harta sangatlah penting,dalam hal
ini di harapkan bahwa pasangan suami istri bisa menggunakan hartanya dengan
baik dan mengatur jalannya pengeluaran uang sesuai yang telah di tentukan oleh
islam. Seperti yang terdapat dalam surat di atas sebaiknya berbagilah dengan
orang yang membutuhkan dalam hal ekonomi ataupun yang lainnya,baik dalam
keluarga,tetangga,maupun masyarat yang di luar sana.
Untuk
memulai pengaturan keuangan rumah tangga, suami istri perlu menentukan beberapa
hal penting seperti skala prioritas sekaligus tujuan dan penggunaan uang dalam
rencana keuangan rumah tangga. Daftar pengeluaran setiap bulan juga perlu
dilihat. Keputusan penggunaan uang perlu melibatkan suami dan istri apabila
keputusan tersebut berkaitan dengan keputusan besar yang melibatkan jumlah uang
yang besar pula seperti membeli rumah, mobil, danbahkan memilih pekerjaan. Semuanya
perlu melibatkan keputusan bersama antara suami dan istri. Karena keputusan
dilakukan bersama oleh suami dan istri, pertanggungjawaban keuangan juga perlu
dilakukan oleh kedua belah pihak. Dengan perencanaan semacam ini, tidak ada
lagi rumah tangga yang harus menghadapi masalah besar hanya karena kondisi
keuangan yang tidak jelas. Pasangan suami istri akan lebih memusatkan perhatian
terhadap hal-hal yang membahagiakan.
C. Kesimpulan
Menggunakan
harta secara efisien dan efektif akan lebih bermanfaat daripada menggunakan
harta atau uang untuk membeli sesuatu yang sifatnya boros,di lain pihak harta
tersebut cepat habis hal itu juga tidak di senangi oleh Allah SWT.
Konsumsilah
secara bijak dan lebih hemat lagi dalam mengeluarkan uang,dan gunakanlah uang
tersebut untuk mendapat ridho dari Allah SWT. Hidup ini akan lebih indah dan
kelak di akhirat akan mendapatkan pertolongan
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka,Tafsir Al-Azhar
Juz xv,Jakarta:Pustaka Panjimas,2003.
Al-Qurthubi,Syaikh
Imam,Tafsir Al-Qurthubi,Jakarta:Pustaka Azzam,2008.
Shihab,M.Quraish,Tafsir
Al-Mishbah,Jakarta:Lentera Hati,2002.
Kahf,Moher,Ekonomi
Islam,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1995
[2] Syaikh imam Al-Qurthubi,Tafsir
Al-Qurthubi(Jakarta:Pustaka Azzam,2008),hlm
[3] Op.cit,Hamka,hlm 48
[4] M.Quraish Shuhab,Tafsir Al-Mishbah
(Jakarta:Lentera Hati,2002),hlm 449-450
[5] Op.cit,Hamka,hlm 48-49
[6] Monzer
kahf,Ekonomi Islam(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1995),hlm 21
[7] Ibid,Monzer kahf,hlm 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar